Oleh:HM. Cholil Nafis, Lc.,Ph D[1]
Semoga saja Allah Swt
melimpahkan keberkahan atas tanah tandus ini bagi semua hmba Nya yang berperan
dalam dakwah di tanah ini. Semoga Allah Swt melimpahkan kesejahteraan kepada
hamba-hamba Nya yang muslim dan bertaqwa dan ridho atas ketentuan taqdirnya
menjadi bagian dari kehidupan di tanah ini. Amiin.
Pertanyaan judul terasa klise.
Pasalnya, para hartawan sering dipersepsikan sebagai orang yang bergaya hidup
hedonis dan lupa dengan kehidupan akhiratnya. Pandangan ini setengah dibenarkan
ketika melihat fenomena para hartawan itu yang tersangkut kasus korupsi,
mewah-mewahan dan pamer kekayaannya. Sebenarnya menjadi hartawan sangat
dianjurkan dalam Islam. Sebab sebagaian besar pelaksanaan rukun Islam
memerlukan harta. Hanya membaca dua kalimat syahadah saja yang tidak perlu
biaya.
Ketika seorang muslim hendak
melakukan shalat maka perlu pakaian untuk menutupi auratnya dan itu perlu biaya
untuk membeli pakaian yang layak. Ketika hendak melaksanakan ibadah puasa tentu
butuh biaya membeli makanan yang bergizi untuk menjaga kesehatan tubuh. Ketika
perintah zakat diwajibkan kepada umat muslim tentu perintah itu hanya bagi
orang yang mempunyai kekayaan harta tertentu. Demikian juga ibadah haji tentu
pelaksanaannya sangat tergantung pada kemampuan seseorang, baik secara
finansial ataupun fisik. Seseorang dapat melaksanakan ibadah haji jika memiliki
harta dan kemampuan raga.
Paradigma yang salah ketika
memahami harta adalah sesuatu yang rendah dan mengantarkan pada kehidaan.
Bahkan banyak yang menganggap kekayaan dalah laknat sedangkan kefakiran bagian
dari hidup zuhud menuju surga. Zuhud adalah sikap orang yang meninggalkan harta sedangkan orang yang
ditinggalkan harta sehingga berkekurangan adalah faqir atau miskin. Artinya,
orang zuhud itu
adalah orang yang memiliki banyak kekayaan tetapi tidak bergelimang dan
megah-megahan dengan kekayaannya tetapi memilih hidup tetap sederhana, merasa
sama dalam perasaan hatinya antara memiliki dan tidak memiliki harta, antara
dipuji dan dimaki oleh orang lain dan dambaannya hanya semata-mata mendekatkan
diri kepada Allah SWT.
Kemiskinan bukan berarti zuhud meskipun menjalani hidup dengan
penuh kesederhanaan. Hidup sederhana belum tentu zuhud meskipun hidup zuhud
tampak dalam kehidupannya yang sederhana. Sebab adakalanya hidup sederhan
karena keterpaksaan bukan karena pilihan, sementara hidup sederhana yang
disebut zuhud jika karena pilihannya meninggalkan kemewahan. Jika seseorang
yang hidup hanya dengan satu baju dan satu sarung yang lusuh karena tidak mampu
membeli yang baru, tinggal dalam rumah sepetak atau gubuk yang lapuk dengan
banyak jumlah keluarga atau mengkonsumsi makanan yang tidak bergizi
karena tidak punya penghasilan yang mencukupi maka hal tersebut disebut
kemelaratan hidup bukan hidup zuhud.
Harta Perspektif Islam
Demikian pentingnya peran harta
dalam pelaksanaan ajaran Islam sehingga memeliharanya (hifzhul mal)
termasuk dari salah satu tujuan syariah (maqashid al-syari’ah) dalam
mencapai kebaikan dan menghindari keburukan. Harta yang halal dan diperoleh
dengan cara baik akan mengantarkan kepada kesempunaan pelaksanaan syariah
Islam, tetapi sebaliknya, kesullitan mangais rezeki atau memperoleh harta
dengan cara haram akan mengganggu atau bahkan merusak kehidupan beragama.
Harta pada dasarnya dapat
menyebabkan terpunji atau tercela, tergantung pada cara seseorang untuk
memperoleh dan sikap dalam menggunakan harta. Harta menyebabkan terpuji jika
diperoleh dengan cara halal dan dipergunakan untuk kebaikan, sedangkan harta
tercela adalah harta yang diperoleh dengan cara tidak benar dan digunakan untuk
kemaksiatan atau untuk menumpuk kekayaan.
Harta adalah cobaan, akan
menjadi kebaikan jika dipandang sebagai sarana untuk mendukung pelaksanaan
ajaran Islam, dan harta akan menjadi bencana jika dijadikan sebagai
tujuan hidup. Sebaiknya harta hanya cukup berputar dari tangan ke tangan untuk
mempermudah mendapat dan melakukan kebaikan, jangan sampai menyikapi harta
dengan penuh cinta di dalam hati agar tidak menjadi malapetakan. Rasulullah saw
bersabda:
"لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ
أُمَّتِي الْمَالُ"
“Setiap umat pasti mendapat
cobaan (fitnah), sedangkan cobaan umatku adalah harta”. ( HR. Turmudzi ).
Harta ada dua. Yaitu halal dan
haram. Allah SWT telah menjelaskan mana harta yang haram dimakan dan mana harta
yang boleh dikonsumsi. Sesuatu yang haram dimakan dijelaskan oleh Allah SWT
secara rinci, seperti Babi, Anjing dan Darah. Atau sesuatu itu sebenarnya halal
kalau prosesnya sesuai tuntunan syariah, seperti hewan yang halal dengan syarat
dipotong menurut ketentuan syariah, namun jika hewan itu tidak dipotong sesuai
syariah maka haram dikonsumsi. QS. Al-Baqarah [2] : 173 Ada pula harta yang
sebenarnya halal tetapi karena prosesnya yang tidak sesuai syariah sehingga
harta itu haram diperoleh dan haram dikonsumsi. Oleh karena itu, Islam
mengajarkan kepada kita untuk mengkonsumsi yang secara esensi halal dan cara
mendapatkannya atau prosesnya juga halal.
Bisnis Adalah Alternatif
Secara filosofi, Manusia adalah
makhluk ekonomi. Karena tidak satupun manusia yang dapat hidup tanpa
mengkonsumsi, memproduksi dan mendistribusi. Kebutuhan mengkonsumsi menuntut
adanya produksi, namun tidak semua orang mampu memproduksi semua kebutuhannya
sehingga diperlukan adanya distribusi. Karenanya, keterpautan kemampuan
seseorang dengan yang lain menciptakan ketergantungan antara sesama sebagai
ciri manusia sebagai makhluk sosial.
Ekonomi dalam pandangan Islam tidak
hanya harta yang berupa materi dan produksi yang bersifat fisik, tetapi juga
harus dapat memenuhi kebutuhan rohani. Karenanya, ekonomi tidak semata-mata
kepentingan profit, namun semestinya berakar dari etika dan nilai kemanusiaan
menuju kebahagiaan dunia dan akhirat (falah).
Karakteristik ekonomi Islam
terletak pada kerangka moral dan etika. Aturan yang dibentuk dalam ekonomi
Islam merupakan aturan yang bersumber pada kerangka konseptual masyarakat dalam
hubungannya dengan Tuhan, kehidupan dan tujuan akhir manusia setelah kematian.
Ekonomi menurut Islam tidak semata-mata keuntungan materi, lebih dari itu
ekonomi adalah sarana untuk membangun ikatan kemanusiaan yang saling
membutuhkan dan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Islam memandang ekonomi tidak
lepas dari emapat ciri, yaituRabbaniyyah (ke-Tuhan-an),
Akhlak, Kemanusiaan, danWasathiyah (keseimbangan). Cirri-ciri ini
yang menyatukan kepentingan duniawi dan uhkrawi, ketuhanan dan kemanusiaan,
materi dan ruh. Ciri Rabbaniyah terletak pada katerkaitan seluruh aktifitas produksi, konsumsi dan
distribusi semata-mata untuk menjalankan tugas sebagai khaifah dimuka bumi,
membangun peradaban manusia dan memakmurkan bumi. Ciri Rabbani ini meniscayakan beretika.
Cirri etika teletak pada tidak
adanya pemisahan antara kegiatan ekonomi dengan akhlak. Islam memandang
aktifitas ekonomi untuk kemaslahatan. Dilarang menipu, mempraktikkan riba dan menzhalimi kepada yang lain
hanya untuk kepentingan pribadi.
Ciri kemanusiaan juga terlihat
dalam relasi persaudauraan dan tolong menolong dalam memenuhi kebutuhan. Dalam
transaksi tidak semuanya berbasis profit, karena adakalanya untuk menolong
dengan skim qardlul hasan (pinjaman tanpa bagi hasil). Ciri keseimbangan (wasathiyah)
terlihat dari pengakuan Islam terhadap hak milik individu, tetapi di sisi lain
mengakui hak umum. Hak milik individu memungkinkan seseorang untuk memperoleh
harta sebanyak-banyaknya, tetapi harus berbagi dengan yang lain sebagai
implementasi dari hak umum, yaitu beupa zakat, wakaf dan sadekah.
Islam mengajarkan kemandirian
ekonomi dan hasil pencaharian sendiri. Karenanya Nabi saw. memuji orang yang
bekerja keras dan mengerahkan segala kemampuannya untuk memperoleh rezeki.
Hanya ada dua cara hidup dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, yaitu bekerja untuk
menghidupi diri sendiri dan keluarganya atau tidak bekerja mencari rezeki
tetapi menghidupi diri dan keluarganya dengan cara meminta bantuan orang lain.
Islam mengkutuk para peminta-minta, baik secara langsung maupun melalui cara
lain seperti pengajuan proposal selama dirinya masih mampu untuk bekerja
sendiri.
Oleh karenanya, bekerja adalah
kewajiban manusia untuk menjalankan tugas agama dan memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Menurut Islam, mata pencaharian
yang paling baik adalah berdagang. Sebab berbisnis bukan hanya meraup
keuntungan dengan cepat, baik secara kualitas atau kuantitas. Akan tetapi
bisnis adalah mata pencaharian yang mandiri, jauh dari tekanan atau menghamba
kepada orang lain juga dapat menciptakan lapangan kerja bagi orang banyak serta
dapat memeratakan distribusi ekonomi dari satu tempat ke tempat lain, sehingga
antara masyarakat dapat menikmati hasil bumi dan produksi dari berbagai tempat
yang berbeda untuk saling memenuhi kebutuhan.
Nabi saw mengajarkan agar
pandai berniaga, karena di dalamnya terdapat 90% pintu rezeki, sedangkan yang
10% terdapat pada profesi lain seperti pegawai negeri, perawat, karyawan,
bertani dan lain-lain. Lalu, apakah kita masih ingin berkutat mempertahankan
yang 10% dan mengorbankan yang 90%? “Sesungguhnya sebaik baik mata pencaharian
adalah seorang pedagang (entrepreneur).” (HR Baihaqi). Nabi Muhammad saw pun
menerapkan prinsip bisnisnya sebagai ladang menjemput surga.
Pesantren adalah kelompok
masyarakat yang memiliki kedudukan strategis. Karena Pesantren mencetak
pemimpin-pemimpin masyarakat, baik dalam bidang keagamaan maupun
kemasyarakatan. Di samping itu, jumlah pondok pesantren di Indonesia mencapai
25.000 unit. Jumlah santrinya berdasarkan data 2011, mencapai 3,65 juta yang
tersebar di 33 provinsi. Kelompok ini sangat strategis dalam mengembangkan
program kewirausahaan.
Dalam konteks inilah, Yayasan
Investa Cendekia Amanah (ICA) akan memberdayakan komunitas pesantran agar bisa
lebih memotivasi dan mendorong generasi muda mengembangkan jiwa dan mindset
atau pola pikir menjadi seorang enterpreneur. Jumlah wirausaha Indonesia saat
ini baru mencapai 1,56% dari populasi penduduk, dan angka ideal adalah 2%.
Selain itu, Yayasan ICA melalui pelatihan di ICA Institute dan Koprasi Jasa
Keuangan Syariah (KJKS) atau kita kenal Baitul Mal Wat Tamwil (BMT)
memposisikan diri sebagai pusat mediasi antara perbankan dengan lembaga
keuangan dan usaha mikro, sehingga diharapkan terciptanya wirausaha-wirausaha
baru dari Pondok Pesantren. Program ini diharapkan menjelma jadi mesin ekonomi
yang hasilnya bisa digunakan untuk peningkatan ekonomi umat sekitar pesantren
dan masyarakat di mana para santri akan kembali.
Post a Comment