Menyambut Ramadhan, Apa Yang Harus Dipersiapkan?

Tidak Berpuasa Mendekati Ramadhan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ
“Janganlah ada salah seorang di antara kalian yang melakukan puasa sehari atau dua hari menjelang Ramadhan kecuali bagi orang yang memiliki kebiasaan puasa (sunnah) maka boleh baginya untuk puasa pada hari itu.” (HR. Bukhari [1914] dan Muslim [1082] dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ini lafazh Bukhari). an-Nawawi menjelaskan bahwa di dalam hadits ini terdapat penegasan hukum terlarangnya mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya bagi orang yang tidak berbenturan hari itu dengan kebiasaannya untuk berpuasa (sunnah) atau dia tidak menyambungnya dengan hari-hari sebelumnya. Maka apabila dia berpuasa tanpa disambung dengan hari sebelumnya atau bukan menjadi kebiasaannya maka hukumnya haram puasa pada hari itu. Inilah pendapat yang benar dalam pandangan beliau berdasarkan hadits ini, dan juga berdasarkan hadits lain yang diriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dan yang lainnya,
إِذَا اِنْتَصَفَ شَعْبَان فَلَا صِيَام حَتَّى يَكُون رَمَضَان
“Apabila bulan Sya’ban sudah mencapai pertengahan maka tidak ada puasa sampai datang bulan Ramadhan.” …” (HR. Abu Dawud [1990] dengan lafazh ‘janganlah berpuasa’, al-Minhaj, 4/418-419).
Hadits yang disebutkan oleh an-Nawawi di atas bersumber dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dan diriwayatkan oleh As-habu as-Sunan dan disahihkan oleh Ibnu Hiban dan yang lainnya (Fath al-Bari, 4/152). Hadits tersebut juga disahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Takhrij Misykat al-Mashabih [1974] dengan lafazh ‘janganlah berpuasa’, Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud [2337] dan Shahih al-Jami’ [397].
Namun, Imam Ahmad mengatakan tentang derajat hadits ini sebagaimana yang dinukil oleh Abu Dawud, “Ini adalah hadits yang mungkar. Abdurrahman bin Mahdi tidak menuturkan hadits melalui dia (anaknya, yaitu Al-‘Alla’, pen)” (Disebutkan oleh al-Baihaqi dalam Ma’rifat as-Sunan wa al-Atsar [2589]).
Oleh sebab itu Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan bahwa hadits tentang larangan berpuasa setelah pertengahan bulan Sya’ban adalah lemah. Beliau menyandarkan pendapatnya itu kepada Imam Ahmad yang melemahkan hadits ini. Kalaupun haditsnya sahih, maka larangan itu hanya sebatas makruh saja sebagaimana yang dianut oleh sebagian ulama, kecuali bagi orang yang sudah terbiasa mengerjakan puasa (sunnah) maka dia boleh berpuasa meskipun sudah melewati pertengahan Sya’ban, wallahu a’lam (lihat Syarh Riyadhush Shalihin, 3/394).
Apabila ada orang yang sudah terbiasa mengerjakan puasa sunnah pada akhir bulan maka tidak mengapa dia mengerjakan puasa itu di akhir bulan Sya’ban. Kalaupun dia sengaja meninggalkan kebiasaannya -karena khawatir terkena larangan berpuasa sehari atau dua hari menjelang Ramadhan- maka hendaknya dia menggantinya sesudah bulan Ramadhan berakhir. Kompromi hadits seperti ini dikemukakan oleh Ibnu al-Munayyir dan al-Qurthubi, sebagaimana dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Hajar (Fath al-Bari, 4/269-270). Kompromi serupa juga disampaikan oleh an-Nawawi dari al-Mazari (al-Minhaj, 4/502).
Hal itu berdasarkan hadits sahabat Imran bin Hushain radhiyallahu’anhuma berikut ini,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seorang lelaki, “Apakah kamu berpuasa pada akhir-akhir bulan ini?” Yaitu bulan Sya’ban. Maka dia menjawab, “Tidak.” Maka Nabi berkata kepadanya, “Apabila kamu sudah selesai mengerjakan puasa Ramadhan nanti berpuasalah sehari atau dua hari.” Keragu-raguan itu berasal dari ucapan Syu’bah. Namun dia mengatakan, “Aku kira beliau mengatakan dua hari.” (HR. Bukhari [1983] dan Muslim [1161] ini adalah lafazh Muslim)
Oleh karena itu Bukhari menyebutkan hadits di atas di bawah bab yang beliau beri judul ‘ash-Shaum min aakhiri syahr’ (Berpuasa di akhir bulan). az-Zain bin al-Munayyir mengatakan : Bukhari menyebutkan kata ‘bulan’ tanpa menyertakan namanya. Meskipun yang terdapat dalam riwayat menunjukkan bahwa bulan yang dimaksud dalam hadits adalah bulan tertentu yaitu Sya’ban. Ini merupakan isyarat darinya bahwa puasa tersebut tidak khusus berlaku di bulan Sya’ban saja. Bahkan, dari hadits ini bisa dipetik pelajaran yaitu disunnahkannya mengerjakan puasa di setiap akhir-akhir bulan agar hal itu menjadi kebiasaan bagi seorang mukallaf (orang yang dibebani syari’at). Sehingga tidaklah terdapat pertentangan antara kandungan hadits ini dengan larangan mendahului Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari, sebab dalam hadits itu Nabi bersabda, “Kecuali bagi orang yang sudah biasa puasa (sunnah) maka silakan dia berpuasa.” (sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari, 4/268).

Memperbanyak Puasa Sunnah di Bulan Sya’ban
Aisyah radhiyallahu’anha mengatakan,
 “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sampai-sampai kami mengira beliau tidak akan berbuka. Dan beliau juga pernah tidak berpuasa sampai-sampai kami kami mengira beliau tidak akan berpuasa. Tidaklah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan puasa dalam waktu sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan. Dan aku tidak pernah melihat beliau lebih banyak berpuasa -di luar bulan Ramadhan- melainkan ketika bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari [1969, 1970, dan 6465] dan Muslim [1156]).
al-Hafizh Ibnu Hajar menerangkan bahwa maksudnya dahulu Nabi biasa berpuasa (sunnah) di bulan Sya’ban maupun bulan yang lainnya, namun puasa sunnah yang beliau lakukan di bulan Sya’ban lebih banyak daripada di luar bulan itu (Fath al-Bari, 4/249). Beliau juga mengatakan bahwa di dalam hadits tersebut terdapat dalil tentang keutamaan berpuasa di bulan Sya’ban (Fath al-Bari, 4/250).
Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits sebelumnya yang menyebutkan larangan mendahului puasa Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari. Keduanya dapat dikompromikan, yakni larangan itu ditujukan kepada orang yang tidak biasa melakukan puasa (sunnah) pada hari-hari tersebut (Fath al-Bari, 4/250). Para ulama mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan agar hal itu (puasa sunnah di setiap bulan) tidak dikira sebagai sebuah kewajiban (al-Minhaj, 4/489).
Oleh sebab itu, ketika ditanya tentang puasa di bulan Sya’ban Syaikh Ibnu Utsaimin menjawab bahwa hal itu adalah sunnah, dan memperbanyak puasa di bulan itu sangat dianjurkan. Bahkan para ulama mengatakan bahwa perumpamaan puasa Sya’ban itu seperti halnya shalat sunnah rawatib yang menyempurnakan shalat-shalat wajib (Fatawa Arkan al-Islam, hal. 491).
Berpuasa Bersama Pemerintah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 “Puasa adalah hari ketika kalian berpuasa bersama. Hari raya idul fitri juga di hari ketika kalian berhari raya bersama. Kurban juga di hari ketika kalian berkurban bersama.” (HR. Tirmidzi [693] dan Ibnu Majah [1660] dinyatakan sanadnya jayyid oleh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah [hadits ke-224], Sahih wa Dha’if Sunan at-Tirmidzi [697], dan Shahih al-Jami’ [3869] dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).
at-Tirmidzi mengatakan setelah membawakan hadits di atas,
 “Sebagian ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan : sesungguhnya makna dari ungkapan tersebut adalah berpuasa dan berhari raya (hendaknya) bersama dengan masyarakat (jama’ah) dan kebanyakan orang.” (Sunan At-Tirmidzi, Bab ma jaa’a annal fithra yauma tufthiruun wal adh-ha yauma tudhahhuun).
Abul Hasan as-Sindi mengatakan setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Tirmidzi di atas, “Yang tampak ialah bahwa maksudnya perkara-perkara ini bukan wewenang setiap orang. Mereka tidak boleh menyendiri dalam melakukannya (hari raya, puasa, dan kurban, pen). Akan tetapi urusan itu harus dikembalikan kepada imam (pemimpin/pemerintah) dan jama’ah (masyarakat Islam di sekitarnya). Sehingga wajib bagi setiap individu untuk mengikuti ketetapan pemerintah dan masyarakat. Berdasarkan hal ini, apabila ada seorang saksi yang melihat hilal dan pemerintah menolak persaksiannya maka dia tidak boleh menetapkan perkara-perkara tersebut untuk dirinya sendiri. Dia wajib untuk mengikuti masyarakat dalam melaksanakan itu semua.” (Hasyiyah as-Sindi ‘ala Ibni Majah, hadits 1650. asy-Syamilah).
Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Apabila pemerintah sudah mengumumkan melalui radio atau media yang lainnya mengenai ditetapkannya (masuknya) bulan (hijriyah) maka wajib beramal dengannya untuk menetapkan waktu masuknya bulan dan keluarnya, baik ketika Ramadhan atau bulan yang lain. Karena pengumuman dari pemerintah adalah hujjah syar’iyyah yang harus diamalkan. Oleh sebab itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu memerintahkan Bilal untuk mengumumkan kepada masyarakat penetapan (awal) bulan agar mereka semua berpuasa karena ketika itu masuknya bulan telah terbukti di sisi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau menjadikan pengumuman itu sebagai ketetapan yang harus mereka ikuti untuk melakukan puasa.” (Majalis Syahri Ramadhan, hal. 16).
Kisah yang disebutkan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin terdapat di dalam Sunan at-Tirmidzi dengan lafazh,
Dari Ibnu Abbas, dia berkata : Seorang arab Badui datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan, “Saya telah melihat hilal.” Nabi pun mengatakan, “Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang haq) selain Allah? Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?”. Dia menjawab, “Iya”. Nabi lantas berkata, “Hai Bilal, umumkanlah kepada orang-orang agar mereka berpuasa besok.” (HR. Abu Dawud [1993], Tirmidzi [627], Al-Hakim dalam Mustadrak [1491] dan lain-lain). Namun hadits ini lemah sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh al-Albani di dalam Shahih wa Dha’if Sunan at-Tirmidzi [691], Dha’if Sunan Ibnu Majah [364], al-Irwa’ [907], Dha’if Sunan an-Nasa’i [121/2112], Dha’if Sunan Abu Dawud [507/2340, 508/2341]. asy-Syamilah).
Meskipun demikian, terdapat hadits lain yang sahih serta menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal yang serupa (yaitu menerima persaksian satu orang saksi dalam menetapkan masuknya bulan puasa dan mengumumkan kepada umat bahwa hari berikutnya puasa). Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma mengatakan,
 “Orang-orang berusaha untuk melihat hilal, aku pun memberitahukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihatnya. Maka beliau pun berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk mengerjakan puasa pada hari itu.” (HR. Abu Dawud [2342] dan lain-lain. al-Hakim menyatakan hadits ini sahih sesuai dengan kriteria Muslim, hal itu juga disepakati oleh adz-Dzahabi. Disahihkan al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil, 4/16. Hadits 908).
Kapan mulai puasa?
Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 “Apabila kalian telah melihatnya (hilal Ramadhan) maka puasalah. Dan apabila kalian telah melihatnya (hilal Syawal) maka berhari rayalah. Kalau langit tertutup (mendung atau yang lain) maka genapkanlah bilangannya.” (HR. Bukhari [1900] dan Muslim [1080]).
Beliau juga menegaskan di dalam hadits lain,
 “Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal. Dan janganlah kalian berhari raya hingga kalian melihatnya. Kalau langit tertutup dari pandangan kalian maka genapkanlah.” (HR. Bukhari [1906] dan Muslim [1080] dari sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma).
Yang dimaksud dengan ‘genapkanlah’ adalah sebagaimana disebutkan di dalam riwayat Muslim dan yang lainnya yaitu maknanya genapkanlah bilangan (bulan Sya’ban) menjadi tiga puluh hari (Fath al-Bari,
Hal ini juga dipertegas oleh Nabi dalam hadits Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 “Berpuasalah karena melihatnya, dan berhari rayalah karenanya. Dan kalau ia tersamar dari pandanganmu maka genapkanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari [1909]).
Oleh sebab itu an-Nawawi menegaskan bahwa makna ‘genapkanlah’ di dalam hadits tersebut adalah menggenapkan bilangan bulan menjadi tiga puluh hari. itulah pendapat Imam Malik, Syafi’i, Abu Hanifah dan mayoritas ulama Salaf (terdahulu) dan Khalaf (belakangan). Bahkan mereka mengatakan, “Tidak boleh menafsirkannya dengan perhitungan para ahli perbintangan. Sebab kalau segenap umat manusia dibebani untuk melaksanakannya niscaya akan menyempitkan mereka, karena tidak ada yang memahaminya kecuali segelintir orang saja. Padahal ajaran syari’at hanya diterangkan dengan hal-hal yang bisa dipahami oleh kebanyakan di antara mereka.” (al-Minhaj, 4/415).
Dengan demikian ada 2 cara yang bisa ditempuh untuk menetapkan masuknya bulan Ramadhan :
  1. Dengan melihat hilal. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam ayat (yang artinya), “Maka barangsiapa di antara kalian yang melihatnya hendaklah dia berpuasa.” (QS. al-Baqarah [2] : 185). Syarat diteimanya persaksian melihat hilal adalah : saksi tersebut sudah baligh, berakal, muslim, terpercaya beritanya berdasarkan sifat amanahnya dan keahlian yang dia miliki, adapun anak kecil maka kesaksiannya belum bisa diterima
  2. Dengan menggenapkan jumlah bilangan hari di bulan sebelumnya (Sya’ban) menjadi tiga puluh hari, karena bulan Qamariyah tidak akan lebih dari 30 hari dan tidak mungkin kurang dari 29 hari (lihat Majalis Syahri Ramadhan, hal. 15-17).
Yang dimaksud ‘jangan berpuasa kecuali setelah melihatnya’ bukan berarti semua orang harus melihat hilal, namun yang dimaksud adalah ada sebagian di antara mereka yang telah melihatnya, minimal 1 orang menurut jumhur dan minimal 2 orang menurut pendapat ulama yang lain. an-Nawawi menyatakan bahwa pendapat yang benar satu orang saksi sudah cukup untuk menetapkan masuknya bulan Ramadhan (Fath al-Bari, 4/144, lihat juga Al-Minhaj, 4/416).
Semoga risalah singkat ini bermanfaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
4 Hal Yang Perlu Dipersiapkan Untuk Menyambut Ramadhan
Waktu memiliki sifat terus berjalan, jam demi jam terus melaju tanpa seorang pun dapat menghentikannya, dan tidak ada satu orang pun diantara kita yang bisa menghentikan waktu walau hanya sedetik.
Bagaimana pun keadaan kita, apakah kita siap atau tidak siap, maka bulan Ramadhan pastilah akan datang, dan tentu beruntunglah orang yang sudah mempersiapkan diri menyambut bulan Ramadhan, karena dengan persiapan tentu saja hasilnya akan lebih baik. Berbicara tentang persiapan, apa yang mesti kita persiapkan untuk menyambut Ramadhan. Berikut beberapa persiapan yang harus kita persiapkan, yaitu:
 1.    Persiapan Ruhiyah (Keimanan)
Rasulullah saw, mengajarkan kepada kita tentang sebuah do’a menjelang Ramadhan, yaitu:  (ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikan usia kami di bulan Ramadhan).
Persiapan secara keimanan berupa pengendalian diri sejak sekarang untuk tidak melakukan maksiat, seperti menjaga pandangan dan lain-lain. Semoga dengan kebiasaan untuk menahan diri pada bulan Sya’ban, akan memudahkan kita menahan diri di bulan Ramadhan sehingga ibadah shaumnya jadi sempurna.
 2.    Persiapan Jasadiyah (Jasmani)
Ramadhan adalah bulan ketika kita melakukan kebaikan maka kita akan mendapatkan pahala yang berlipat, ibadah sunnah akan mendapatkan pahala wajib dan pahala ibadah wajib berlipat-lipat, sangat disayangkan ketika tiba bulan Ramadhan dan kita dalam kondisi sakit, maka kita tidak bisa mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pahala yang berlipat. Persiapan fisik bisa dilakukan dengan cara berolah raga secara rutin serta sudah membiasakan diri dengan shaum sunnah.
 3.    Persiapan Tsaqafiyah (Keilmuan)
Rasulullah saw, bersabda:”Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan (ibadah) yang bukan urusan (agama/contoh) kami, maka ibadah tersebut tertolak” (HR. Muslim).
Memahami tata cara ibadah yang benar, membawa kita meraih pahala, karena apabila suatu aktifitas ibadah tidak ditunjang dengan pengetahuan yang baik, maka ibadahnya akan tertolak atau tidak mendapatkan pahala sama sekali. Persiapan ilmu ini bisa didapat dengan cara membaca atau menghadiri majelis taklim yang membahas tentang Ramadhan/Shaum.
 4.    Persiapan Maaliyah (harta)
Persiapan harta yang dimaksud bukanlah persiapan harta untuk buka puasa, tetapi adalah untuk sedekah, karena sedekah di bulan Ramadhan akan mendapat ganjaran yang berlipat-lipat.

Jakarta, 12 Juni 2015.

1 Comments

Post a Comment

Previous Post Next Post