BIOGRAFI TOKOH
Hasan Al-Banna (9)
Hal-hal yang mendasari berdirinya da’wah.
Hasan Al-Banna (9)
Hal-hal yang mendasari berdirinya da’wah.
Perpindahan Al
Banna dari tempat kelahirannya Mahmudiyah ke Damanhur kemudian ke Kairo
membuatnya banyak mengetahui permasalahan situasi dan kondisi umat Islam.
Dimasa beliau
tinggal di Mahmudiyah, daerah yang tenang dan menjaga tradisi Islam dan
ajarannya, belum terlintas di benaknya bahwa di ibukota Mesir, Kairo, banyak
terjadi penyimpangan dan kerusakan yang menurutnya sangat parah. Belum pernah
terbayangkan olehnya bahwa para penulis terkemuka, ulama dan para pakar ada
yang bekerja demi kepentingan musuh Islam. Ulama sibuk dengan urusan pribadi
dan masyarakat umum dalam keadaan bodoh.
Surat kabar,
majalah dan sarana informasi lainnya banyak memuat dan menyebarkan pemikiran
yang bertentangan dengan ajaran Islam dan pornografi. Ia pun melihat
kemungkaran di mimbar politik, masing-masing partai hanya mementingkan
golongannya dan cenderung menjadi ajang permusuhan dan perpecahan ummat.
Masyarakat
cenderung tergiring menjauhi nilai-nilai luhur, merasa asing dengan nilai-nilai
Islam. Begitupun di Perguruan Tinggi yang tadinya disiapkan untuk menjadi lampu
penerang, pusat kebangkitan dan mimbar peradaban, malah menjadi sumber
malapetaka, pusat kerusakan dan alat penghancur sehingga banyak orang memahami
bahwa Perguruan Tinggi dan Universitas adalah tempat revolusi perlawanan
terhadap akhlaq, menentang agama dan memusuhi tradisi yang baik.
Kondisi
muslimin di luar Mesir pun sangat mengelisahkannya. Turki yang tadinya menjadi
pusat Khilafah Islamiyah, pada tahun 1924 M sudah berubah menjadi negara
sekuler. Selain Mesir, negeri-negeri Islam di seluruh penjuru bumi saat ini
kebanyakan dalam keadaan terjajah, walhasil perekonomian ummat Islam pun
dikuasai oleh orang-orang asing kaum penjajah. Semua itu disaksikan oleh Hasan
Al-Banna, sementara kondisi dan situasi semakin memburuk sehingga
menyusahkannya dan ia menjadi gelisah. Sampai beliau tidak dapat tidur selama
15 hari di bulan Ramadhan. Akan tetapi ia tidak putus asa, tidak menyerah
bahkan semakin bersemangat dan bertekad untuk berbuat sesuatu agar bisa
mengembalikan Khilafah Islamiyah, mengusir penjajah dan mengangkat martabat.
Dengan kesungguhan, kerja yang tak mengenal lelah dan gerakan yang
berkesinambungan, ia yakin cita-cita luhur itu dapat tercapai. Hasan Al-Banna
mulai melakukan aktifitasnya dengan menghubungi para pemimpin, tokoh masyarakat
dan para ulama. Ia ajak mereka untuk membendung arus kerusakan itu. Ia
mendatangi Syeik Ad Dajawi salah seorang ulama Mesir terkemuka, lalu
dijelaskannya permasalahan umat kepada Syeikh tersebut. Namun Syeikh ternyata
hanya memperlihatkan keprihatinannya saja, menurutnya tidak ada sesuatu yang
dapat dilakukan saat ini dengan alasan bahwa Mesir sedang dijajah Inggris yang
memiliki kekuatan dan persenjataan yang dapat menghadapi gerakan apapun yang
menentangnya.
Hasan Al Banna
tidak ridho dan tidak puas dengan jawaban Ad Dajawi itu dan membuatnya nyaris
lemah semangat. Kemudian Syeikh Ad Dajawi mengajaknya berziarah ke rumah Syeikh
Muhammad Saad yang merupakan salah satu ulama terkemuka juga, disana banyak
yang hadir selain Syeikh Ad Dajawi, Syeikh Muhammad Saad dan Hasan Al-Banna.
Kemudian Al Banna menjelaskan lagi permasalahan ummat namun Syeikh Ad Dajawi
memintanya untuk berfikir, tapi Hasan Al Banna seorang pemuda yang bersemangat
tinggi berpendapat waktu itu bukan saatnya untuk berfikir tapi untuk berbuat.
Syeikh
Muhammad Saad pada waktu itu menjamu para tamunya dengan kue-kue khas yang
dibuat untuk bulan Ramadhan. Para tamu asyik menikmati makan dan minuman yang
disuguhkan. Pemandangan ini membuat Hasan Al-Banna semakin bersedih dan
prihatin. Ia memahami bahwa mereka dalam keadaan lalai dari kondisi Islam, maka
ia berusaha menyadarkan mereka seraya berkata : “Wahai Syeikh! Islam sedang
diperangi dengan dahsyat, sementara para tokoh, pelindung dan para pemimpin
ummat sedang menghabiskan waktunya dengan kenikmatan seperti ini, apakah kalian
mengira bahwa Allah tidak akan menghisab apa yang kalian sedang lakukan? Jika
kalian tahu disana ada pemimpin Islam dan pelindungnya selain kalian,
tunjukilah saya kepada mereka agar saya mendatangi mereka, mudah-mudahan saya
dapati apa yang tidak ada pada kalian”.
Perkataan
Hasan Al-Banna menyentuh hati Syeikh Muhammad Saad, sehingga membuatnya
menangis, hadirin yang lainpun turut menangis. Lalu Syeikh bertanya : “Apa yang
mesti saya lakukan wahai Hasan …?” Hasan
Al-Banna kemudian mengusulkan agar Syeikh mengumpulkan nama-nama para ulama dan
zuama serta para pemuka, lalu mereka diundang untuk suatu pertemuan dalam
rangka memikirkan dan memusyawarahkan apa-apa saja yang harus mereka lakukan.
Sekalipun hanya menerbitkan majalah mingguan untuk mengimbangi majalah-majalah
yang ada atau membentuk perkumpulan yang dapat menampung para pemuda. Syeikh
setuju atas usulan Hasan Al-Banna itu dan ia mencatat sebagian nama ulama
terkemuka seperti : Syeikh Yusuf Ad Dajawi, Syeikh Muhammad Khudlori Husain,
Syeikh Abdul Aziz Jawis, Syeikh Abdul Wahab Najjar, Syeikh Muhammad Khudlori,
Syeikh Muhammad Ahmad Ibrahim, Syeikh Abdul Aziz Khuli, dan Syeikh Muhammad
Rasyid Ridho. Sementara dari kalangan tokoh terkemuka, seperti : Ahmad Taimur
Pasya, Nasim Pasya, Abu Bakar Yahya Pasya, Abdul Aziz Muhammad Pasya, Mutawalli
Ghonim Bik, dan Abdul Hamid Said Bik. Mereka semua diundang untuk suatu
pertemuan dan terlaksanalah pertemuan demi pertemuan, sehingga dapat
menerbitkan majalah “Al-Fath” yang dipimpin oleh As-Sayid Muhibuddin Khattib
dengan pimpinan redaksinya Syeikh Abdul Baki Surur. Perkumpulan dan kegiatan
ini terus berlangsung sampai Hasan Al Banna lulus kuliah dari Darul Ulum dan
terus menggerakkan beberapa orang pemuda sehingga terbentuklah Jam’iyyah
Syubanul Muslimin.
Hasan Al Banna juga berhasil mengumpulkan beberapa ulama dan tokoh
masyarakat terkemuka, dan terbentuklah Jama’ah Islamiyah yang menyeru untuk
menghadapi arus gelombang kehidupan materialis, membatasi kegiatan maksiat dan
kekufuran.
Akan tetapi
Hasan Al Banna melihat aktifitas jama’ah itu tidak cukup, dimana kegiatannya
terbatas pada menyampaikan ceramah atau nasehat di masjid-masjid dan menulis
artikel di majalah-majalah, akan tetapi siapa yang menyampaikan da’wah kepada
orang-orang yang tidak ke masjid yang sebenarnya mereka lebih berhak dari pada
orang-orang yang aktif ke masjid. Siapa yang menyampaikan da’wah kepada
orang-orang yang tidak membaca koran dan majalah. Dengan demikian harus adanya
kader yang siap berda’wah ke berbagai lapisan masyarakat. Hasan Al–Banna melihat bahwa yang dapat melaksanakan tugas
berat itu adalah para mahasiswa Al–Azhar dan Darul Ulum. Ia kemudian mengumpulkan
beberapa orang rekannya untuk berlatih berpidato, khotbah di masjid, berda’wah
di warung-warung kopi dan tempat-tempat umum, kemudian pergi ke
kampung-kampung. Diantara mereka yg terlibat dalam aktivitas ini adalah Syeikh Muhammad Madkur, Syeikh Hamid Askari dan Syeikh Ahmad
Abdul Hamid.
Setelah mereka
berlatih dan siap terjun ke lapangan, Al Banna mengajak rekan-rekannya untuk
berda’wah ke warung-warung kopi dengan memperhatikan tiga hal : Memilih
tema yang sesuai; Sistem penyajian yang menarik; Memperhatikan
waktu dan jangan sampai membosankan.
Peristiwa berdirinya Jama’ah Al-Ikhwanul Muslimin.
Pada bulan September
tahun 1927 M, Hasan Al Banna diangkat menjadi guru SD di Kota Isma’iliyah,
disanalah beliau memulai da’wahnya, di warung-warung kopi kemudian pindah ke
masjid. Da’wah yang dilakukannya di warung-warung kopi ini bukan pengalaman
yang pertama baginya, tapi beliau sudah terbiasa da’wah di tempat-tempat
seperti ini, ketika beliau masih mahasiswa di Darul Ulum, Kairo.
Da’wah Hasan
Al Banna mendapat sambutan dari para pengunjung warung-warung kopi, sehingga
sebagian diantara mereka bertanya kepadanya tentang apa yang harus dilakukan
demi agama dan tanah air.
Setelah
beberapa lama berda’wah di warung-warung kopi kemudian Hasan Al Banna pindah
dari warung kopi ke mushalla (Zawiyah). Di Zawiyah inilah beliau berbicara dan
mengajarkan praktek ibadah, dan meminta kepada mereka agar meninggalkan
kebiasaan hidup boros bermewah-mewahan. Para pendengar menyambutnya dengan
baik.
Hasan Al Banna
juga memperluas interaksinya kepada seluruh unsur yang berpengaruh terhadap
masyarakat, yaitu para ulama, Syaikh kelompok sufi, tokoh masyarakat (wujaha),
dan berbagai perkumpulan-perkumpulan.
Pada bulan Dzul Qo’dah tahun 1347 H atau bulan Maret 1928 M, datanglah 6
orang laki-laki yang tertarik dengan da’wah Hasan Al-Banna, mereka adalah:
Hafiz Abdul Hamid (tukang bangunan), Ahmad Al Hushor (tukang cukur), Fuad
Ibrahim (tukang gosok pakaian), Ismail Izz (penjaga kebun), Zaki Al Maghribi
(tukang rental dan bengkel sepeda), dan Abdurrahman Hasbullah (supir). Mereka
berbicara kepada Hasan Al-Banna tentang apa yang harus mereka lakukan demi
agama dan mereka menawarkan sebagian harta milik mereka yang sedikit. Mereka
pun meminta Hasan Al-Banna menjadi pimpinan mereka. Lalu mereka berbai’at
kepadanya untuk bekerja demi Islam dan mereka bermusyawarah tentang nama
perkumpulan mereka. Imam Al Banna berkata : “Kita ikhwah dalam berkhidmat untuk
Islam, dengan demikian kita Al Ikhwanul Muslimin”.
Kemudian
mereka menjadikan kamar di suatu rumah sewaan yang sangat sederhana sebagai “Kantor
Jama’ah” dengan mengambil nama Madrosah At Tahzab. Disanalah Hasan Al-Banna mulai
meletakkan manhaj tarbawi bersama pengikut-pengikutnya, manhaj tarbawi pada
waktu itu adalah :
1.
Al-Qur’anul Karim (tilawah dan hafalan).
2. As
Sunnah An Nabawiyah (menghafal sejumlah hadits).
3.
Pelatihan khutbah.
4.
Pelatihan mengajar untuk umum.
beberapa bulan jumlah pengikut
jama’ah menjadi 76 orang, kemudian terus bertambah.Dan mereka mendermakan harta
mereka untuk da’wah sampai dapat membeli sebidang tanah untuk dibangun
diatasnya markas jama’ah: Darul Ikhwanul Muslimin, terdiri dari 1 masjid, 1 sekolah untuk putra, 1 sekolah untuk putri, dan nadi (tempat pertemuan) ikhwan.
Pertumbuhan
pesat da’wah ikhwan sejak awal.
Pada bulan
Oktober tahun 1932 M, Hasan Al-Banna dimutasi kerja oleh Pemerintah ke Kairo sebagai guru di Madrasah Abbas I, Distrik
Sabtiah. Perpindahan kerja ini menjadi peluang baginya untuk membawa da’wah ke Kairo ibukota Mesir.
Di Kairo Hasan Al Banna dan ikhwan memilih rumah di jalan Nafi No.24 sebagai Markaz Amm,
dan ia tinggal bertempat di lantai atas selama 7 tahun da’wah di
Kairo dari tahun 1932 sampai 1939 M.
Markaz Amm
mengalami beberapa kali pindah :
1. Di jalan Nafi No.24
2. Di rumah di Suqus Silah
3. Di jalan Syamasyiji No.5
4. Di jalan Nashiriyah No.13
5. Di jalan Medan Atobah No.5 di perumahan wakaf
6. Di jalan Ahmad Bik Umar di Hilmiyah
Di Kairo
disamping banyaknya partai politik yang bersaing untuk menjadi partai yang
berkuasa, didapati pula banyak organisasi Islam dan non Islam.
Di
tengah-tengah kehidupan Kairo, da’wah ikhwan terus meluncur membuktikan
keberadaannya, efektifitasnya dan menarik banyak pengikut dan pendukungnya
serta membuka syu’bah-syu’bah baru.
Da’wah di
Kairo belum sampai satu tahun Hasan Al-Banna telah mampu
menyebarkan da’wah di seluruh kota Kairo dan telah membuka syu’bah-syu’bah baru
lebih dari 50 kabupaten, dimana Ia mendatangi perkampungan negeri Mesir untuk berda’wah
tidak mengenal letih, apalagi malas, hal itu dilakukannya disaat-saat musim
liburan sekolah.
Profesi dan pekerjaannya.
Hasan Al-Banna adalah guru SD (Ibtidaiyah), beliau disiplin melaksanakan tugasnya dengan optimal
dan maksimal, Ia belum pernah terlambat datang ke sekolah (tempat
kerja), karena merasakan ni’mat dan kebahagiaan dalam bekerja. Ia meyakini bahwa Allah telah menciptakannya menjadi pendidik.
Hasan Al-Banna disenangi dan
dihormati oleh murid-murid, para guru, kepala sekolah dan karyawan. Mereka pun mencintai da’wah Al Banna. Mereka berkeinginan membantunya, agar mempunyai banyak
waktu untuk mengemban tugas da’wah, akan tetapi beliau bersikeras melaksanakan
tugasnya dengan sempurna tanpa membebani orang lain.
Bila ada
ikhwan yang menelponnya ketika dia sedang mengajar di kelas, kemudian petugas
memberitahukannya ada orang yang menelponnya, lalu ia berpesan kepada petugas
tersebut : “Katakan kepadanya, saya sedang mengajar dan tidak dapat
meninggalkan kelas sebelum selesai jam pelajaran”.
Post a Comment