BIOGRAFI TOKOH
Hasan Al-Banna (10)
Tugas Rumah.
Hasan Al-Banna (10)
Hasan Al Banna melaksanakan tugasnya di rumah sebagai kepala keluarga,
suami, ayah dengan baik, tidak pernah terjadi pertengkaran dalam
rumahnya. Ia memberikan perhatian yang penuh kepada anak-anaknya, juga membantu pekerjaan istrinya di rumah sekalipun dengan kesibukan da’wahnya.
Ia mengetahui kebutuhan rumah, dan tiap hari mencatat kebutuhan rumah tangga, sehingga ia mengetahui kapan disimpan barang seperti bawang, minyak dan lain-lain.
Aktifitas Da’wah.
Da’wah bagi Hasan Al Banna menjadi alasan hidupnya, dan semua kehidupannya
da’wah, siang dan malam kesibukannya adalah da’wah. Da’wah memenuhi
hati dan pikirannya, sehingga da’wah terlihat jelas pada
pribadinya, bila berbicara, berbicara dengan da’wah dan untuk da’wah. Dan bila
diam, diamnya da’wah, bila bergerak demi da’wah, cinta dan bencinya karena
da’wah dan bila tertawa atau menangis karena da’wah.
Hasan Al Banna
tidak hidup untuk dirinya sendiri, tidak menyimpan uang, tenaga waktu dan
kesehatannya kecuali untuk da’wah, semua gajinya dijadikan untuk da’wah, tidak
dikurangi kecuali untuk kepentingan keluarga yang pokok, Ia mengambil standar minimal/terendah untuk hidupnya. Hasan Al Banna
menjadikan hidupnya untuk da’wah, ucapan, diam, gerak, bangun, tidur, suka,
benci, tulisan, bacaan, pikirannya semua untuk Islam.
Ranjau-Ranjau Sepanjang Perjalanan Da’wah Imam Hasan Al-Banna.
Ketika dua
aktifis Ikhwan di Thontho, Muhammad Abdussalam dan Jamaluddin Fakih dituduh oleh
rezim sebagai pelopor gerakan subversib dan ini adalah awal mihnah yang menimpa
jamaah maka Hasan Al-Banna segera mengadakan
lobi dengan lembaga bantuan hukum untuk mengadakan pembelaan secara maksimal
dan mengerahkan seluruh ikhwan agar memiliki perhatian serta mengikuti
persidangan-persidangan yang berlangsung bahkan Ia sendiripun
selalu mengikuti persidangan-persidangan yang berlangsung dan sekaligus
membantah tuduhan yang ditujukan kepada dua aktifis maupun kepada jamaah dengan
lewat mass media internal maupun external.
Dengan upaya yang maksimal dan dukungan seluruh fihak akhirnya kedua
aktifis dinyatakan bersih dari tuduhan. Keprihatinan Hasan Al Banna terhadap
peristiwa itu terungkap: “Sesungguhnya masalah ini membikin aku gelisah untuk
tidur, karena aku tahu bahwa hal ini benar-benar telah dipersiapkan secara
matang, mereka memiliki dan menguasai seluruh perangkatnya, mulai dari
birokrasi, hakim, hingga saksi-saksi palsu dan apabila mereka berhasil
meringkus kedua aktifis kita kedalam penjara dengan tuduhan subversif, maka
da’wah al ikhwan akan punah dimata masyarakat”.
Memang Hasan
Al Banna mengajarkan kepada Al-Ikhwan untuk menjadi generasi yang pemberani dalam kebenaran,
menganggap para penjajah adalah musuh dan bentuk perbudakan yang paling buruk
sepanjang sejarah manusia, mereka begitu semangat dan berebut untuk mendapatkan
izin menuju Palestina untuk meraih syahadah ketika DK PBB pada tahun 1948
secara resmi membagi tanah Palestina menjadi dua. Hasan Al-Banna sendiri dalam
pidatonya dimuka khalayak ramai di hotel intercontinental mengatakan, “Pembagian Palestina menjadi dua adalah tanda bahwa dunia telah tidak
waras”. Hal serupa juga pernah disampaikan kepada pemerintah
Inggris lewat perwakilannya di Kairo tahun 1939 M, bahwa ummat Islam akan
mempertahankan Palestina hingga titik darah terakhir. Hasan Al-Banna juga seorang
yang lembut hati, hidupnya hanya untuk perhatian da’wah dan para ikhwannya,
ketika seorang akhwat menderita sakit, beliau sendiri menghubungi dokter dan
ketika sang dokter sedang menulis resep obat lalu beliau mencolek kepada Mahmud
Abdul Halim untuk meminjam uang untuk menebus obat karena tak sepeser junaihpun
ada ditangannya. Perlawanan para ikhwan menghadapi penjajah Inggris atas
intervensinya terhadap kota Isma’iliyah awal perang dunia kedua 1939 M
merupakan bukti keberanian mereka. Melihat keberhasilan Hasan Al
Banna dengan jamaahnya yang cukup gemilang, dimana pada waktu yang relatif
singkat fikroh ikhwan telah mampu mempengaruhi dan mewarnai di berbagai bidang
ekonomi, sosial politik dan keagamaan, khususnya sikap masyarakat luas terhadap
Palestina dan penjajah, maka Inggrispun sangat gerah terhadap Hasan Al Banna
dan sangat berkepentingan untuk membunuhnya dan membubarkan jamaahnya. Untuk
merealisasikan mimpi Inggris itu pada tanggal 10 Nopember 1948 M ‘tiga segitiga setan’ mengadakan pertemuan secara rahasia, mereka adalah Inggris, Amerika dan
Perancis di Paid, memutuskan agar Al-Ikhwan Al-Muslimun segera dibubarkan. Sebulan kemudian tepat pada
tanggal 8 Desember 1948 datang SK militer yang berisikan pembubaran terhadap
jamaah.
Rupanya
pembubaran jamaah tidak berdampak terhadap aktifitas dan keberadaannya di
tengah-tengah masyarakat, justru pembelaan dari masyarakat luas semakin kentara
dari hari ke hari, kewibawaan dan kemampuan Hasan Al Banna merekrut masyarakat
luas sangat diakui lawannya, kemampuan membangkitkan semangat ummat, membuka
hati yang tertutup, menghimpun kekuatan arus bawah sangat ditakuti lawan. Maka
tidak ada lagi pilihan lain, kecuali harus merencanakan sebuah makar yang lebih
besar yang belum pernah terpikir di benak mereka yaitu dengan membunuh
pendirinya.
Sejak itu
rezim Faruq benar-benar memperhitungkan langkah untuk menguasai Hasan Al Banna
:
1. Dengan memenjarakan seluruh anggota Al-Ikhwan dan
membiarkan Hasan Al Banna seorang diri agar masyarakat luas menganggap bahwa
rezim masih memiliki rasa tolerir terhadapnya, padahal itu
sebuah siksaan batin, setiap harinya hanya tangisan ribuan anak kecil dan
rintihan ibu-ibu yang didengarnya, menengok kanan dan kiri tidak ada yang
peduli seakan-akan seluruh rakyat telah diintimidasi oleh rezim, takut untuk
melakukan sebuah kebaikan, siapa bersedekah akan mati, siapa menolong orang yang kelaparan dianggap pemberontak. Hasan Al-Banna hanya mampu
mengumpulkan sebesar 150 junaih Mesir (+ $.140) setelah upaya sana sini
dan itupun hasil hutang dari salah seorang teman.
2. Setelah perasaan yang mencekam benar-benar menyelimuti seluruh rakyat
Mesir, polisi intel segera memenjarakan adik kandung Hasan Al Banna, Abdul
Basith yang merupakan anggota polisi, padahal adiknya ini bukan anggota Al-Ikhwan. Hal itu dilakukan untuk mempermudah penangkapan terhadap Hasan Al-Banna kapan mereka menginginkannya. Sebenarnya Hasan Al-Banna telah mencium makar terhadap dirinya. Namun justru keberanian dan perasaan tidak takut mati semakin lebih nampak lagi, terutama setelah di suatu malam ia mimpi bertemu dengan Sayyidina Umar bin Khattab yang berkata padanya: “Wahai Hasan, kau akan dibunuh!”. Ketika Hasan Al-Banna mengajukan untuk
tinggal di luar kota Kairo bersama saudaranyapun tidak diizinkan, hal itu
semakin memperjelas makar yang dirancang oleh rezim untuk meringkusnya secara
perlahan.
3. Setelah seluruh persenjataan ikhwan, dan kekayaannya termasuk pistol dan
mobil pribadi Hasan Al-Banna yang statusnya
pinjaman itu disita oleh penguasa yang serakah, maka tinggal episode yang
terakhir. Mereka merekayasa sebuah pertemuan antara Hasan Al-Banna dengan Mohammad An Naqhi (salah satu pengurus Dar Asy-Syubban) pada hari
Jum’at tanggal 11 Desember 1949 M pukul 17.00. Namun hingga pukul 20.00 masalah
yang diagendakan belum ada kejelasan yaitu salah seorang menteri yang
diharapkan dapat membantu menyelesaikan masalah Ikhwan, lalu
pulanglah ia dengan menantunya Ustadz Mansur dengan
komitmen akan datang kembali esok harinya, namun tiba-tiba ia dapati suasana yang sungguh lain, di jalan protokol “Quin Ramses” yang
biasanya ramai dengan hiruk pikuk lalu lintas lalu lalang manusia saat itu tak
sebuah mobil dan seorangpun yang lewat kecuali sebuah taxi yang menongkrong di
depan gerbang pintu Dar Asy Syubban. Toko-toko dan rumah-rumah makan yang berdekatan juga
sudah tutup. Kecurigaan semakin tinggi ketika baru akan melangkahkan
kaki menuju jalan raya tiba-tiba seluruh lampu penerang jalan mati, saat itulah
peluru api meluncur sebagian mengenainya dan peluru yang lain mengenai Ustadz Mansur. Namun Hasan Al-Banna masih kuat untuk naik
sendiri menuju gedung Dar Asy Syubban memutar telepon untuk meminta pertolongan
ambulance, meskipun demikian ia kemudian terlantar di salah satu kamar
Rumah Sakit “Qosr Aini” karena tak seorangpun dari perawat atau dokter yang berani
menolongnya sekalipun banyak dokter muslim yang ingin merawatnya, namun kepala
RS tidak mengizinkan atas perintah kerajaan. Dering telepon tak henti-hentinya
untuk meyakinkan kematian Hasan Al-Banna hingga ia menemui robbul izzah dengan kepahlawanannya. Tepat hari Sabtu malam Minggu
tanggal 12 Desember 1949 beliau pulang ke Rahmatullah. Terselimutilah di hari
itu langit dunia dengan kesedihan yang mendalam karena kematiannya berarti
hilangnya seorang pembela kebenaran penegak keadilan di tengah-tengah
kelaliman.
Pagi harinya hari Minggu tanggal 12 Desember 1949 sampailah berita kematian
kepada orang tuanya Syaikh Ahmad Al Banna. Yang lebih
menyedihkan rezimpun tidak mengizinkan ummat Islam untuk merawat jenazahnya dan
berta’ziyah ke rumah shohibul musibah. Untuk menunjukkan keangkuhan serta
kedengkiannya terhadap Hasan Al-Banna mereka susun penjagaan
militer secara ketat yang siap untuk bertempur dan tank-tank yang seakan-akan
menghadapi sebuah pertempuran yang dahsyat. Tidak
seorangpun diizinkan membawa jenazahnya menuju makam kecuali orang tuanya beserta kedua saudari perempuannya.
Jamaah Al-Ikhwan yang telah didirikan diatas genangan darah Hasan Al-Banna dan di ukir dengan darah para syuhada akankah ditunggu oleh ummat seluruh
dunia sebagai pahlawan penegak kebenaran, pendobrak
kebatilan dan pembawa bendera Khilafah Islamiyah? Jawabannya tentu tergantung kepada kualitas nilai
dan pengorbanan para penerusnya. (
Bersambung )
Post a Comment