Seorang
Pejuang Dakwah Islam : Hasan Al-Bana , wafat dengan beberap peluru
menembus tubuhnya, dan dimakamkan oleh Ayahandanya seorang diri dalam
pengawasan fihak pemerintah Mesir saat iti (Wafat 12 Februari 1949).
“Kupersembahkan jiwa
ini ke hadirat Allah dan Dia pula yang akan memberi keselamatan. Inilah
perjanjian antara Allah dan hamba-Nya yang kucatat di sini, dengan guruku
sebagai saksi. Apa pun tak bisa mempengaruhi kecuali nurani. Siapa pun tak bisa
menebusnya kecuali Tuhan. Hanya mereka yang memenuhi janjinya
kepada Allah berhak menerima imbalannya.”
Inilah ungkapan tokoh Islam, Hasan al-Banna, yang mengantar
ia menjadi pejuang Islam terkemuka. Uangkapan ini pula yang mengantar pendiri
gerakan Ikhwan al-Muslimin ini syahid dengan kondisi mengenaskan: Jenazahnya
tak boleh dilihat, disholatkan, bahkan dikuburkan oleh siapa pun kecuali sang
ayah yang sudah berusia 90 tahun. Gerakan Ikhwan al-Muslimin saat itu begitu
ditakuti pemerintah Mesir di bawah rezim dictator al-Malik Faruq bersama
penjajah-penjajah salibi: Inggris, Perancis, dan Amerika.
Cerita kematian Hasan al-Banna begitu memilukan hati. Betapa
tidak, ia dijebak lalu ditembak. Saat itu, di awal tahun 1947, pihak kerajaan
Mesir meminta agar al-Banna bersedia berunding demi mengendurkan konflik antara
al-Ikhwan dan pemerintah. Al-Banna bersedia. Lalu, tepat pada 12 Februarui 1949
jam 17.00 pihak kerajaan datang menjemput al-Banna dan membawanya ke kediaman
salah satu pejabat Jam’iyyah al-Syubban al-Muslimin. Al-Banna sendiri ditemani
iparnya Abdul Karim Mansur.
Sesampai di kediaman pejabat tersebut mereka menunggu
Menteri Zaki Ali Basya yang direncanakan bakal datang mewakili pihak kerajaan.
Namun, lama ditunggu, sang pengundang tak kunjung tiba.
Akhirnya, setelah menunaikan shalat Isya’. Al-Banna dan
sepupunya memanggil taksi untuk pulang ke rumah. Ketika naik taksi, dua orang
tak dikenal tiba-tiba meuncul dan salah seorang dari mereka melepaskan beberapa
tembakan ke taksi. Tujuh peluru bersarang dibadan al-Banna. Meskipun badannya
terluka dan darah menguncur deras, pahlawan Ikhwan al-Muslimin ini masih mampu
bertahan dan berjalan masuk kembali ke kediaman pejabat Jam’iyyah al-Syubban
al-Muslimin. Ia juga sempat memanggil ambulan dan pergi ke rumah sakit Qasral
‘Aini. Sedangkan iparnya syahid saat itu juga dalam taksi. Peristiwa tragis ini
menyebar dalam waktu singkat, bahkan ke seluruh penjuru dunia. Para pengikut
setia sang imam yang ingin berjaga-jaga di rumah sakit dihalau oleh militer.
Malah, Jenderal Muhammad al-Jazzar melarang siapa saja yang ingin membesuk
al-Banna. Pengawalan diperketat, tak seorang pun bisa masuk ke rumah sakit
meskipun hanya sekedar melihat-liht kondisi sang Imam.
Akhirnya, pukul 00.50 12 Februari 1949. Pejuang tangguh ini
menghembuskan nafasnya yang terakhir, dipanggil menghadap-Nya.Pada pukul 01.00
pihak kepolisian menyampaikan berita duka atas kematian al-Banna kepada
ayahnya, Syeh Ahmad Abdur Rahman, sekaligus memberikan dua pilihan. Pertama,
pihak kepolisian akan mengantarkan jenazah ke rumahnya untuk dikebumikan pukul
09.00 tanpa diikuti oleh seorang pun kecuali ayahnya sendiri. Kedua, jika tidak
menerima tawaran pertama ini pihak kepolisian sendiri yang akan membawa jenazah
dari rumah sakit ke pekuburan tanpa dilihat oleh ayahnya. Sang ayah menerima
pilihan pertama. Sebelum fajar menyingsing, jenazah as-Syahid dibawa ke
rumahnya di Hilmiah al-Jadid dengan sebuah kereta yang dikawal ketat oleh
polisi lengkap dengan senjata. Di sekitar rumahnya juga terdapat polisi dan
tentara. Mereka tidak membolehkan siapa pun berada di dekat kawasan tersebut.
Jenazah as-Syahid dibawa masuk ke rumahnya tanpa ada orang yang melihat, bahkan
tak ada pula yang tahu khabar kesampaiannya. Ayah al-Banna berusia lebih dari
90 tahun, meskipun tubuhnya sudah sangat renta, tetap tegar melihat kondisi
putranya yang penuh luka bekas tembakan. Guyuran air ia alirkan ke tubuh
al-Banna yang membujur kaku dengan penuh kesabaran dan bangga. Ia juga
mengkafani jenazah yang baru berusia 43 tahun itu seorang diri dengan
pengawalan polisi yang sangat ketat. Setelah diletakkan di atas pengusung
jenazah, Sheikh Ahmad Abdur Rahman meminta kepada pihak kepolisian agar
membolehkan beberapa orang membantunya mengusung jenazah. Namun, polisi hanya
membolehkan kaum wanita untuk membantu Sheikh. Tak boleh ada siapa pun yang
bertakziah, apalagi membaca al-Quran untuk jenazah.
Ayah al-Banna tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Beliau
dengan tiga orang wanita terpaksa mengusung jasad anaknya menuju ke Masjid
al-Qaisun untuk disholatkan. Di sini pun tak ada orang yang ikut shalat karena
para polisi yang ponggah itu sudah lebih dulu mengusir jamaah yang ada di dalam
masjid. Sang ayah seorang diri membaringkan jasad putranya, lalu menunaikan
shalat jenazah untuk putra tercintanya. Masa-masa sepeninggal Hasan al-Banna
adalah masa penuh cobaan bagi umat Islam di Mesir. Banyak murid beliau yang
disiksa, dijebloskan ke penjara, bahkan dihukum mati, terutama ketika Mesir
diperintah oleh Jamal Abdul Naseer, seorang dictator yang condong ke Sovyet.
Banyak pula murid baliau yang terpaksa mengungsi ke luar negeri, bahkan Eropa.
Namun pengungsian bagi mereka bukanlah suatu yang disesali. Bagi mereka di mana
pun adalah bumi Allah, di mana pun adalah lahan dakwah. Para pengamat
mensinyalir, dakwah Islam di Barat tidaklah terlepas dari jerih payah mereka.
Demikianlah, siksaan, tekanan, pembunuhan tidak akan memadamkan cahaya Allah.
Bahkan semuanya seakan-akan menjadi penyubur dakwah itu sendiri, sehingga
dakwah Islam makin tersebar luas.
Secara umum, Hasan al-Banna merupakan seorang pejuang yang
gigih dan berani, berjaya menyadarkan masyarakat dengan fikrah dan pendekatan
barunya dalam gerakan dakwah dan manhaj tarbiahnya yang sempurna. Walaupun
beliau telah pergi menemui Ilahi, namun fikiran dan gerak kerjanya masih
menjadi rujukan dan pegangan pejuang-pejuang dan harakah Islamiah hari ini. - dikutip dari :
Fahmy
Zone, 17 Februari 2016
Post a Comment