Menganggap Kematian Sebagai Proyek ?

Laporan Budi Kicil

Ternyata, kematian seorang muslim  ada yang menganggap sebagai proyek.  Setidaknya, itu terjadi di kampung Cibatu Desa Padabeunghar  Kabupaten Sukabumi. Budaya yang tidak sesuai dengan syariat islam itu diungkap oleh Anwar, penduduk setempat yang tujuh hari lalu ditinggal mati neneknya. Anwar  mengungkapkan hal itu kepada wartawan pada Selasa 8/1 lalu.
Lebih jauh Anwar mengemukakan bagaimana kematian didaerah itu telah menjadi sebuah industri  yang mengeksploitasi keluarga yang ditiNGGALKAN. “Dari pemulasaraan jenazah, mengantarkan ke pamakaman, menggali kuburan  sampai tahlil semuanya bertarif”, ungkap Anwar.
Anwar memberi contoh tarif untuk mengantarkan jenazah kepemakaman adalah Rp 50 ribu untuk ustad, 30 ribu untuk orang dewasa dan 20 ribu untuk anak-anak. “Tarif itu diluar prosesi doa dan penggali kubur”, ujar Anwar.
Anwar juga menyebut betapa ritual tahlil begitu memberatkan kepada keluarga yang ditinggalkan. Menurut Anwar, ustad yang memimpin tahlil bertarif  tak kurang dari Rp 100 ribu per sekali tahlil. Sedangkan untuk jamaah yang ikut bertahlil setidaknya harus ada uang Rp 40 ribu untuk orang dewasa per orang pertahlil. 

“Untuk anak-anak, keluarga korban harus menyediakan uang setidaknya Rp 20 ribu per anak sekali tahlil. Jika keluarga yang ditinggalkan tak mampu menyediakan uang sesuai tarif, maka jangan harap ada warga yang ikut memulasara jenazah, mengantar ke pemakaman atau tahlilan”, ungkapnya dengan nada geram.

1 Comments

  1. Astagfirullahaladziim, jadi banagimana seharusnya kita menyikapi gejala ini? karena ini selain tidak syar'i (karena memulasara jenazah adalah fardu kipayah, dan itu kewajiban bagi masyarakat sekalilingnya,)ini sudah tidak etis dan tidak berperikemanusiaan anadai yang ditimpa musibah/kematian dan berduka harus menyediakan biaya yang memberatkan.Ini harus segera ditindak lanjuti agar tidak keterusan membudaya dalam ke-tidak benar-an )

    ReplyDelete

Post a Comment

Previous Post Next Post